Pelayanan kepada masyarakat oleh Petugas Disnakkeswan (Jasmen Rais, S.Pt) dalam penanganan Gangguan Reproduksi pada ternak sapi (Retensio secondinarum) milik peternakan rakyat di Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman (21/04/24).
Salah satu gangguan reproduksi pada ternak sapi yaitu Retensi plasenta (Retensio secondinarum) adalah suatu keadaan dimana plasenta tetap berada di dalam rahim dan belum dilahirkan selama 30 menit setelah kelahiran anak. Hal ini merupakan hal yang berbahaya dikarenakan dapat menimbulkan komplikasi seperti infeksi serta kehilangan darah yang banyak. Retensio sekundinarum merupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan plasenta induk (kripta karunkula) lebih dari 12 jam setelah melahirkan. Retensio plasenta adalah suatu penyakit yang terjadi akibat selaput fetus atau placenta yang tidak dapat melepaskan diri dari tubuh induk setelah partus melebihi batas normalnya.
Retensi plasenta adalah gangguan komplek yang ditandai dengan kegagalan pelepasan membran fetus. Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus, apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam disebut retensio sekundinae (retensi plasenta). Kejadian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal seperti genetik, distokia, abortus, status hormonal, keterlambatan melahirkan atau prematur, kelahiran kembar, stres, infeksi dan defisiensi vitamin dan mineral. 50% dari induk yang mengalami retensi plasenta akan mengalami kejadian retensi plasenta lagi pada kelahiran berikutnya.
Salah satu penyebab kejadian tersebut adalah penanganan retensi plasenta secara manual dengan melepaskan karankula dan kotiledon secara tidak aseptik. Beberapa jasad renik dapat berdiam pada daerah perlukaan karankula dan menimbulkan placentitis dan kotiledonitis pada kelahiran selanjutnya. Kejadian retensi plasenta akan berdampak pada tingkat kesuburan induk sapi.
Gangguan reproduksi ini akan menyebabkan kerugian langsung kepada peternak akibat calving interval (selang beranak) yang panjang, peningkatan service per conception (S/C), dan penurunan produksi susu. Berbagai penelitian melaporkan dampak retensi plasenta akan memperpanjang jarak waktu kawin pertama menjadi 105 hari dan days open 128 hari. Kejadian retensi akan menambah biaya pemeliharaan dan pengeluaran untuk penanganan ditambah adanya korelasi kejadian metritis akibat retensi plasenta.
Retensio plasenta merupakan faktor predisposisi terjadinya endometritis karena dapat meningkatkan resiko infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus sehingga mengakibatkan peradangan. Retensio plasenta biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam uterus dan dapat menyebabkan menurunnya kesuburan atau infertilitas berupa matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau kegagalan implantasi, yaitu terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus.
Hal ini tentunya sangat berpengaruh ke perekonomian masyarakat yang mana apabila tidak adanya pelayanan penanganan gangguan reproduksi tentu saja akan berakibat fatal pada ternak sapi milik masyarakat bahkan kematian ternak tersebut sehingga masyarakat menjadi rugi jutaan rupiah.